Sabtu, 30 Mei 2009

sinopsis novel menolak panggilan pulang

Menolak Panggilan Pulang


Diterbitkan oleh CV Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I Juli 2000
(Dapatkan
di toko-toko buku di kota Anda, atau pesan langsung ke penerbit: CV
Media Pressindo, Jalan Godean, Guyangan GP IV No. 288 Yogyakarta 55292
telepon (0274) 546694

Kisah
dramatis kehidupan suku Bukit di pedalaman Kalimantan: tentang kearifan
dan kesetiaan terhadap nilai adat; cinta anak-anak kepala adat yang
berbeda pandang dalam menyikapi kaumnya yang terasing; ambisi pribadi
yang mendorong terjadinya pengkhianatan; konflik kepentingan yang tak
terselesaikan. Dan, "Malapetaka itu akhirnya menghanguskan
segalanya…." Tapi, cinta ingin tetap dipertahankan walau ia terusir
dari tanah terasing.

Sinopsis

Anak penghulu itu
kelak meneruskan tugas dan kewajiban ayahnya jika sang ayah meninggal.
Tetapi, ketika 11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga
mencemaskan seluruh warga Balai Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari
kota membawanya ke Kandangan untuk disekolahkan.

Maka,
ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai yang tentu berbeda
dengan di Bukit, yang modern, yang tidak primitif, dan yang akhirnya
meluruhkan nilai-nilai kesetiaan kepada adat tanah leluhurnya, termasuk
melupaka sumpah bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi
kepada Bidukun. Jika ia melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara
adat. Tetapi cintanya kepada putri Kepala Suku Balai Jalay, Aruni,
tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh batinnya penuh kontradiksi.
Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu–saat itu jalan tembus
sudah dibangun– ia ingin memboyong Aruni ke kota, meninggalkan Malinu
yang tetap terasing. Tetapi sang gadis pujaan tak hendak lepas dari
kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi kepada suku Bukit, untuk
membebaskan dari keterasingan, keterpencilan, kebodohannya, tetapi
tidak meninggalkan nilai-nilai adat suku Bukit.

Dan,
demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan tanaman
industri agar mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam sejuta pohon
sengon. "Tapi kami tak perlu sengon. Kami tak biasa menanam pohon itu,
kami hanya menanam padi. Jangan paksa kami," tolak warga Malinu.

Segalanya
berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay berkeras membela PT
Rimba Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua dilakukan demi ambisi
meski harus mengorbankan sukunya sendiri. Maka, semuanya berakhir pada
api yang berkobar, membakar seisi desa, dan Utay melarikan diri….
Bagaimana dengan Aruni yang ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu
merupakan pelanggaran adat yang paling besar dan mesti menerima kutukan
dewa dan roh leluhur?

Kata Pengantar
Oleh Bakdi Soemanto

Ngarto
Februana lahir tiga puluh dua tahun yang lalu. Ia adalah alumni Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1995);
sudah barang tentu ia sangat paham dengan sejumlah teori sastra yang
dibawa Prof. A. Teeuw dari Eropa, dan kemudian menjadi salah satu
landasan sangat berpengaruh bagi pemahaman sastra akademik, setelah
dikembangkan oleh tokoh-tokoh ilmu sastra di UGM, misalnya Prof. Dr.
Chamamah Suratno, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Dr. Imran T.
Abdullah, Dr. Faruk H.T., Dra. Sugihastuti, dan lain-lain. Namun
demikian, menulis novel, cerita pendek, lakon, atau puisi, tidak ada
hubungannya dengan teori-teori itu. Menulis karya kreatif erat
kaitannya dengan: (1) kedalaman wawasan penulis kepada kehidupan; (2)
ketelatenannya melatih diri dalam hal mengolah bahasa-kata, yang
merupakan wahana ungkap utama untuk menciptakan sastra; (3) luas
pergaulannya dengan berbagai lekuk-liku kehidupan; dan, (4) bakat
kepengarangannya (authorship). Perkenalan saya dengan dia
memberikan petunjuk bahwa Ngarto Februana adalah penulis yang
memberikan kepada pembacanya suatu janji akan hasil-hasil karyanya yang
kelak akan cukup menggetarkan. Karena itulah, adalah haknya untuk
terus-menerus memperoleh kesempatan karyanya dipublikasikan dan
ditanggapi. Ibarat pemain bulutangkis, suksesnya di arena pertandingan,
antara lain, akan sangat ditentukan oleh frekuensi kesempatannya
mengadu kemampuannya untuk digunakan sebagai bahan refleksi seberapa
tinggi derajat kehebatan yang sudah dicapainya. Berangkat dari alasan
inilah saya memberanikan diri menerima permintaan dari penulis novel
ini untuk menulis kata pengantar ini.

II

Menolak Panggilan Pulang berbicara
tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan
Selatan. Disebut "tanah terasing" karena wilayah itu dapat dikatakan
terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya, seperti dilukiskan dalam
novel ini, penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh. Dikatakan pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga
Balai Bidukun panik. Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan
dari lubang-lubang persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan
bersorak gembira. Berpesta pora minum darah korbannya yang tak berdaya,
menunggu maut menjemput
." Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat penting dan menentukan untuk memahami novel ini. Setting itu,
kemudian, menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak,
berkembang, secara dinamis dalam seluruh novel itu. Bahkan sekaligus
menjadi semacam vision du monde, jika mau meminjam istilah
Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang dibentuk dan kemudian
membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam novel itu.

Bagi
saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa
wilayah ini adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti
diisyaratkan oleh judul novel ini, yakni dalam artian "tanah
pedalaman", semacam the eart land, yang letaknya jauh dari
wilayah pantai. Disebut terasing sebab walaupun ada Sungai Amandit yang
menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1, sebagai sarana
orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa
akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk
dipersoalkan, dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan
antara wilayah maju dan wilayah asli ini terjadi. Dalam novel ini,
Ngarto Februana, tampaknya, tidak sempat mengeksplorasi kontak-kontak
kebudayaan yang terjadi. Memang, dalam novel ini dilukiskan adanya
perubahan, misalnya tanah di perbukitan yang semula lebat dan kemudian,
karena penebangan pohon hutan secara besar-besaran, mengakibatkan
wilayah itu berubah menjadi padang ilalang. Namun demikian, kontak
kebudayaannya itu sendiri, dialog budayanya itu, tidak sempat
terlukiskan. Tentu saja, ini soal pilihan. Karenanya, keterasingan Desa
Malinau, yang menjadi latar tempat utama terasa tampak jelas. Pembaca
bisa membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan itu selembar taplak meja
berwarna hijau atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya yang
basah atau bekas-bekas bagian yang basah itu, dan tampak sangat
mencolok, mungkin bahkan menggetarkan. Karenanya, sebagai suatu construct pikiran,
jika dipandang secara struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri
mendukung situasi keterasingan Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat seluruh novel ini tampak utuh.

Novel
ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang
diderita oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi
awal dari seluruh kisah, hingga novel ini berakhir.

Awal
novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay,
terkena penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu,
menjadi perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang
berkerumun sempat sangat cemas dengan penyakit yang diderita si bocah,
sebab, "Ia tidak boleh mati. Dialah pengganti ayahnya kelak"
(hal. 4). Dilihat dari teori penyutradaraan, sejak awal Utay sudah
disiapkan menjadi fokus. Dan, tatkala akhirnya Utay sembuh, semua orang
bergembira dan mensyukuri karenanya, toh penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal.
9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk
desa itu, bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat
penting diperhatikan. Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca,
dipaksa untuk terus menikmati novel ini sambil bercemas-cemas apa yang
akan terjadi di desa itu. Ketiga, walaupun penduduk setempat masih
memegang teguh adat-istiadat setempat, namun cukup merasa bangga kalau
ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling sedikit, sekolah
dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah satu-satunya
anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar." Wajah
penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun,
tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay
bisa melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu.
Mula-mula dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan
bahwa, "Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau ke kota."
(hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa diatur, Pak
Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih lanjut. Keempat, melalui
narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira
dua puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang
tenang dan damai terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk,
membabat pohon-pohon besar. Perbukitan yang dilapisi dengan hutan
belantara berubah jadi padang ilalang. Binatang hutan seperti hirangan
(kera besar berbulu hitam dan berekor panjang), babi hutan, pelanduk,
dan beruang menyingkir, mencari tempat yang masih aman buat
kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka
menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh
penghulu, "Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).

Apa
yang menarik? Barangkali karena Ngarto Februana banyak berkesempatan
bergaul dengan teori-teori sastra, setidaknya, secara teknis, ia
berhasil menyusun bagian awal dari novel ini sebagai exposition yang
lengkap. Ini artinya, saya didorong berspekulasi, betapapun konon, kata
para ahli, kreativitas sastra tidak ada hubungannya dengan teori-teori
bersastra, namun, dalam hal teknis, ternyata, teori sastra mampu pula
memberikan sumbangannya yang nyata. Contoh lain, bisalah pembaca
mengenang tatkala pembaca menikmati sebuah novel karya Albert Camus
(1964) yang berjudul L’estrager alias "Orang Asing" itu.
Pembaca yang pernah menikmati, saya pikir akan sependapat dengan saya,
bahwa novel itu "terlalu" sempurna, dalam arti teknis. Dan itu terjadi,
mungkin, karena Camus memang suka menggeluti teori-teori sastra tatkala
masih mahasiswa di fakultas filsafat. Saya tidak mengatakan novel
Ngarto Februana sangat sempurna, tetapi kalau nanti pembaca menikmati
sendiri, akan melihat dan kemudian merasakan bahwa apa yang diungkap di
depan, merupakan semacam rumusan masalah yang akan dibahas dalam corpus novel ini. Jelasnya, eksposisi, atau yang oleh dosen-dosen IKIP sering disebut dengan istilah pemaparan, memberikan kunci seluruh persoalan yang menjadi jiwa novel ini.

Utay, anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun, "Aruni dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar laporan itu, Kepala Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan Utay dan Aruni, yang sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan diperjodohkan, dianggap sebagai pamali, yakni terlarang atau tabu. Pelanggaran ini akan
kena murka roh leluhur dan para Dewa. Bagaimana pula dengan kata orang
nanti, jika kejadian ini sampai menyebar: Putri Penghulu Jalay
berciuman dengan putra Penghulu Bidukun
! (hal. 111). Pada
titik ini, kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun, berbeda dari
perhatian pada awal kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama
diperhatikan itu bersifat simpati kepada si sakit, yang kedua,
perhatian bersifat kekecewaan, bahkan dianggap sebagai destruktif.

Akan
tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu
terjadi di sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni,
tampak bahwa Utay, sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda.
Utay ingin bekerja di PT Rimba Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan
menolak permintaan gurunya, Pak Husein, untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat,"
tukas Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia
kelak harus menggantikan ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin orang lain" (hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran sangat demokratis. "Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang akan dipilih jadi penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih" (hal. 94). Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi,
kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku
nanti ditempatkan di Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku
ditempatkan di sana. Kamu pasti senang tinggal di kota. Ramai dan
banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak seperti di Bukit. Primitif!
"
(hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat "pengaruh orang kota! Pengaruh
sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan Aruni tentu saja sangat benar.
Sekolah adalah agent of change. Jika demikian, yang
dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang benar. Mungkin, alasan ia tidak
menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan
bolak-balik Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang
lebih dalam lagi yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya
seluruh jagad Malinau, karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di
Malinau akan gonjang-ganjing, langit akan kelap-kelap katon lir gincanging aris, Sungai Amandit akan kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan manggut-manggut, dan sabarang dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa itu adalah zaman edan, sementara
bagi mereka yang paham akan apa yang disebut masyarakat akan melihatnya
sebagai perubahan sosial. Dan perubahan masyarakat itu, seperti sudah
dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat kontak-kontak dengan
kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.

Dalam sebuah bukunya yang sangat penting sekaligus sangat indah, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985),
Prof. Dr. H. Umar Kayam telah menyaksikan dan sekaligus meramalkan
berbagai perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh
wilayah Nusantara. Adapun perubahan sosial dimaksud adalah mencairnya
kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih
heterogen; dan yang lebih penting lagi, penerus-penerus nilai-nilai
budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan adanya kerena orang-orang
muda pergi meninggalkan tempat asalnya untuk memburu ilmu, seperti yang
terjadi di Mahadumuk, di perbatasan Kalimantan dan Brunei Darussalam,
di sebelah utara jauh dari Desa Malinau yang dilukiskan Ngarto Februana.

Karena
itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan
penebangan membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian
dari gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan
fisik; sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran
wawasan. Novel ini terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam
itu justru dipelopori oleh Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri.
Karena itu, sebagai pembaca, saya merasakan betapa getirnya yang
dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan cemas tatkala Utay sakit,
seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah menjadi kejengkelan
luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa anak itu
tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka" bagi desa
adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan,
tatkala pulang ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo, sayangku!"

Sangat
jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di
Kandangan. Di kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang
menarik, mungkin cara Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan
yang sedikit over acting, sehingga menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali berkenalan dengan kebudayaan baru.

Pada titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru bersikap over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras dengan cultural resistance-nya.
Bayangkan saja, jika ia kemudian datang lagi ke desanya dengan jeep
Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat mencolok, Jeep itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah mengherankan jika Anak-anak berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka mengagumi kendaraan modern itu. (hal. 124).

Walaupun cara Ngarto Februana bercerita sangat sederhana, using plain and simple language, kalau menurut istilah Dr. Djuhertati Imam Muhni, M.A., namun, bahasa biasa-biasa itu, dalam pengalaman pembacaan, sangat engaging, memikat,
setidaknya bagi saya. Sebab, apa yang dikemukakan Ngarto Februana,
menurut istilah Edmund Sihui-Maho, seorang kritikus sastra asal Hong
Kong, hal seperti itu, hingga kini masih terjadi. Di pabrik-pabrik
gula, orang masih menyelenggarakan upacara yang disebut dengan istilah cembengan,
pada saat mengawali giling. Upacara itu, walaupun banyak ragamnya,
intinya memuliakan mesin-mesin giling itu, agar pada saat giling nanti
tidak macet. Orang-orang masih berpendapat bahwa mesin-mesin itu dijaga
oleh roh-roh, yang apabila roh-roh itu marah, mesin bisa mendadak tidak
mau bekerja. Para mekanik mengatakan mesin itu rusak. Tapi bagi para
pekerja dan mungkin juga pimpinan pabrik, mesin itu terkena gangguan.
Untuk menghindarinya, diperlukan sesaji. Pengalaman saya melakukan
penelitian petani tebu di wilayah Jepara dan Jawa Timur menunjukkan
kenyataan itu. Ini memberikan isyarat bahwa dalam menghadapi teknologi
maju, terkadang, dalam banyak hal, kita masih sangat gamang. Salah satu
sumber sebabnya, kita tidak dipersiapkan untuk banyak bertanya dan
mempertanyakan fenomena yang ada, tetapi dididik menerima begitu saja
tanpa mempersoalkannya. Karena itu, betapapun dahsyatnya teknologi maju
itu, kehadirannya sering tidak membawa perubahan wawasan; kita tak
menjadi lebih kritis, tetapi sebaliknya justru memasukkan jagad
teknologi itu ke dalam wilayah alam pikir kita yang mistis. Maka,
teknologi itu ditangkapnya sebagai wonders of the world, sesuatu
yang mengagumkan, dan diterima sebagai bagian dari keajaiban magis,
tetapi bukan sebagai prestasi yang dicapai manusia lewat peradaban.
Tidaklah mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak dewa. Gagah dan tampan (hal. 124).

Dalam
pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara
ayah dan anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan
itu bukan sekadar masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat
dari wawasan yang berbeda. Utay dan tiga orang temannya ingin menanam
sengon, akasia, sungkai; sementara Penghulu menghendaki agar tanah
ditanami padi dan cabai. Persoalannya bagi Utay bahwa sengon, secara
ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi, Bah, ini menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi Utay sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.

Bagi
Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan secukupnya yang
berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay,
Penghulu marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal. 127). Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan "kefilsafatan" yang menjadi roh di belakangnya.

Apa
yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay
pada sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti
dilukiskan oleh Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern,
teknologi maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia
dari kungkungan legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan,
pendidikan membebaskan manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang
perlu dipersoalkan, aspek manakah dari teknologi maju yang mampu
membebaskan manusia dari padangan takhayul itu? Teknologinya sendiri
yang berarti kemampuan skill, keterampilan, atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?

Hal
yang menarik pula dalam novel ini, sebenarnya pergulatan antara adat
pada satu pihak dan dorongan alamiah manusia pada pihak lain. Tatkala
Utay mulai berkenalan dengan kehidupan kota, sebenarnya, umurnya sudah
cukup dewasa. Ia mulai diganggu oleh dorongan-dorongan dari dalam,
berdekapan, berciuman, meremas-remas buah dada, dan tindakan-tindakan
lanjutan, yang intinya bersumber pada kebutuhan untuk menyatakan diri
sebagai makhluk laki-laki di ambang dewasa. Tetapi, apabila dorongan
itu dilaksanakan yang terjadi adalah pamali , yakni perbuatan
tabu. Pandangan tentang yang tabu dan tidak ini mulai luntur pula pada
Utay, sebelum ia pergi ke Kandangan untuk bekerja di PT Rimba Nusantara.

"Jangan! Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh nenek moyang!"

Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal 96).

Kutipan
ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan
dengan kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu.
Namun, sebenarnya, masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan
pertimbangan akan hukum adat, naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini
artinya, hukum adat berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya naluri
manusia. Kedua, Aruni yang semula menangis, setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal
96). Tampaknya, pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan
dorongan alamiah manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra
Inggris, orang bisa membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967)
yang berjudul Lady Chaterley’s Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna Karenina. Novel-novel
kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan adat plus
larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah
manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang
itu, dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi
moral-religius dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan
alasan bahwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam
novel-novel dimaksud adalah melanggar moral agama, sebenarnya, tersirat
juga nuansa mempertahankan kemurnian kelas sosial, agar tetap
terpandang sebagai kelompok masyarakat terhormat. Nuansa demikian juga
tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan berciuman di sungai (hal
96) dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok yang dikenakan Aruni. Gadis itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay menindihnya (hal. 131)
adalah tindakan terkutuk oleh adat, yang akan dapat menimbulkan amarah
para Dewa, dan sekaligus akan meruntuhkan kedudukan derajat dan
kehormatan orang tua mereka sebagai penghulu.

Ini
artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis
didorong dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi
dan wawasan ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran
alamiah manusiawi.

III

Bagi
saya, novel ini menarik sekali. Pertama, novel sangat sarat dengan
warna lokal, yang mirip satu laporan penelitian antropologis, dengan
alamat pengamatan etnografi. Dengan membaca novel ini, kita banyak
belajar tentang suatu suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal.
Mungkin, jika situasi di desa itu ditulis oleh seorang peneliti,
hasilnya tidak menarik bagi orang awam seperti saya. Tetapi dengan
ditulis dan disajikan dalam bentuk novel, yang dijalin dengan kisah
percintaan adat dalam suatu perspektif perubahan sosial, pelukisan
antropologis dalam novel ini lebih mudah dicerna. Kedua, novel ini
ditulis dengan teknik bercerita yang cermat; ada kesadaran menyusun
suatu construct yang utuh, sehingga yang terlukis di awal novel
ini merupakan pemaparan masalah pokok yang berkembang pada penceritaan
berikutnya. Ketiga, melalui novel ini, seperti halnya novel berjudul Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (1993) maupun sebuah novel berjudul The Last of the Mohican
karya James Flenimore Cooper (1947) menampakkan bahwa datangnya
teknologi maju di satu wilayah "tertutup" tanpa persiapan mental dan
intelektual penduduk setempat akan membawa kehancuran desa itu.
Keempat, dalam novel ini, untuk kesekian kalinya, seperti telah
dilukiskan oleh banyak karya sastra, senantiasa pergulatan antara
dorongan alamiah manusiawi dengan hukum adat dan moral religius terus
terulang sepanjang sejarah manusia, di mana pun dan kapan pun. Kelima,
menurut pengakuan Ngarto Februana sendiri, novel ini ditulis atas dasar
pengamatannya langsung pada wilayah ini, tatkala ia mendapat kesempatan
tinggal di desa ini selama beberapa bulan dalam rangka KKN, Kuliah
Kerja Nyata, pada tahun 1993. Dengan Kuliah Kerja Nyata yang singkat
itu, tampaknya, Ngarto Februana memanfaatkan kesempatan itu dengan
masuk dan berkuliah di universitas kehidupan. Ia, tidak seperti
mahasiswa-mahasiswi lain, yang biasanya dalam KKN memberi pelajaran,
kursus, atau melatih keterampilan penduduk setempat, Ngarto Februana
justru belajar. Dia, saya bayangkan, di Desa Malinau, mendengarkan para
"mahaguru" memberi kuliah kepadanya tentang arti pergulatan dalam
hidup. Para mahaguru itu mungkin justru orang-orang di desa setempat
yang pendidikannya paling tinggi sekolah dasar, bahkan mereka yang
belum sempat belajar membaca. Ia juga berkuliah dengan mendengarkan
kebijakan-kebijakan hidup yang diberikan lewat suara angin yang
menggoyangkan daun-daun; aum binatang-binatang buas, dan gunung-gunung.
Ngarto Februana mencatatnya pada kertas jiwanya, dengan pena yang
digerakkan oleh "tangan-roh"nya, setelah ditangkap dengan mata dan
telinga-hatinya. Karena itu, walaupun di sana-sini novel ini masih
menampakkan kelemahan, karya ini merupakan teladan bagi
mahasiswa-mahasiswi yang akan berangkat KKN, dari jurusan atau fakultas
apa pun dia.

Lalu, bagaimana
akhir cerita novel ini? Kiranya kurang etis jika saya sajikan di sini.
Terus terang, tugas saya hanya memancing keinginan pembaca untuk
berkonfrontasi sendiri dengan novel ini, di suatu malam panjang, dalam
kamar, sambil merenung-renung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku seorang pemula dalam pemuatan blog, jadi aku sangat mohon kritik n sarannya!!!1