Sabtu, 30 Mei 2009

Krriiiiingggg.....Kriiiiiinggggggg.......

"Andi....telpon...?" Hari dengan betenya memanggilku, dia ngantuk sehabis acara rapat pembentukan panitia Ramadhan tadi malam.

"Ya, sebentar....., dah hampir selesai mandi...!!!, dari siapa sih...siang bolong gini..?" jawabku sekenanya dari kamar mandi.

"Biasa...dari Deasy, katanya dia mo tunggu...loe cepetan, interlokal nih...!!!!, Hari makin gedeg aja tau gelagatku yang sok nyantai.

"Ya, brisik amat sih loe"

Telepon itu mungkin telepon ke 1000 kalinya dari Deasy untukku, hal yang aneh, aku belum pernah bertemu dia, tapi kita sudah pacaran. Aku hanya iseng bilang cinta sama dia, dan dia menerimanya. Aku pernah belajar meramal suara orang, dari suaranya gadis itu sangat lembut dan perhatian, aku tidak mencintainya barangkali, karena aku tak mau menggantungkan hidup dalam hal yang tak pasti.

Hampir setiap hari Deasy selalu telpon aku, dari pembicaraan singkat 5 menitan hingga kadang sampai 3 jam. Telingaku kadang panas, sepanas hatiku karena membayangkan kegilaanku berani memacari wanita yang belum pernah aku kutemui.

Dan setahun pun berlalu.................

Aku gelisah, begitu pulang dari kampus aku langsung mengambil wudhu dan sholat dhuhur, mencoba menenangkan diri sejenak. Sudah seminggu ini Deasy tidak menelponku. Aku tidak tahu mengapa...., dia hilang begitu saja. Dia begitu misterius....begitu jauh untuk kujangkau. Hatiku benar2 bingung, tidak biasanya dia seperti ini. Aku sudah terbiasa terbius oleh suara halusnya di tengah malam, aku sudah mencampur dalam desahan manja di telepon itu. Aku mungkin jatuh cinta, tapi otakku memaksaku untuk mengatakan tidak, aku tidak mungkin jatuh cinta pada suara, aku tidak mungkin jatuh cinta pada wujud tanpa rupa.

Kriiiiiiiiiingggggggggggg........

kurang ajar kata batinku, setiap kali ada bunyi telepon hatiku selalu berdegup keras, mengharap Deasy ada di ujung sana. Tapi dia tak kunjung datang, atau aku saja yang bodoh mengharapkan dia. Aku sedang mengarahkan pandanganku pada televisi, acara sinetron yang membosankan, sinetron "Tersanjung" , sinetron tak berkualitas yang hanya membelit2kan pokok persoalan untuk memperpanjang masa tayang, dan celakanya saudara sebangsaku terutama ibu2 termasuk ibuku sendiri suka sekali dengan sinetron itu. Mataku memandangi tv tua itu, tapi sebenarnya menerawang jauh membayangkan apa yang terjadi dengan bidadari kayanganku itu, mungkinkah dia menemukan pria lain dalam kehidupan nyatanya, mungkinkah dia sakit keras sehingga tidak bisa menelpon aku, mungkinkah dia sadar bahwa hubungan seperti ini tidak mungkin dilanjutkan, mungkinkah............

Hari terlihat tersenyum, senyum yang aku selalu hindari untuk melihatnya, karena sifatnya yang kebanci2an itu, tapi kali ini aku harus melihat, karena instingku mengatakan ada berita darinya. Hari mendekatiku, dan berbisik .........

"Andi, Deasy sakit keras, dia menderita leukemia akut, mungkin nyawanya tidak bisa terselamatkan...." Lhadalah ngadubilah, salah satu prasangkaku benar, dia sakit, oh bidadariku itu sakit, oh apa yang harus kulakukan.

"Mana dia...?, mau dia bicara denganku...?"

"Hee...., sabar kenapa...., telponnya sudah ditutup, tadi dia cuman bilang dengan suara yang lemah sekali, mengabarkan kondisinya"

"Kenapa kau tidak kasih aku...?" mmmmmhhhhh aku mau mengumpat, tapi aku tidak terbiasa, aku tidak bisa marah.

"Abisnya dia nggak mau koq..., emang aku harus maksa, enak aja..."

Kali ini aku harus ngalah sama Hari, memang hal ini none of his business, sudah untung dia mau menyampaikan pesannya Deasy. Dugaanku telah menjadi kenyataan, Deasy sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan aku, aku masih di sini, segar bugar, tidak ikut merasakan penderitaannya, tidak mendampinginya saat dia membutuhkan seseorang disampingnya. Yah, apa mau dikata, nomor telponnya pun aku tidak punya, dia selalu mengelak jika kutanya tentang alamat, no telpon, atau apapun yang berkaitan dengan jatidiri sebenarnya dia. Dia hanya sering bercerita tentang kehidupannya sehari2 di ujung sana, kapan dia pergi ke kampus, bagaimana dia sering merawat anak kecil yang sudah tidak punya ibu lagi (anak tetangganya yang sering dititipkan ke Deasy tanpa bayaran, karena anak itu sangat senang dengannya), bagaimana dia sering digodain sama pemuda2 yang kost di depan rumahnya, semua diceritakan padaku dengan detailnya. Aku seperti dibacakan novel kehidupan seorang bidadari yang hendak mati, tetapi masih melakukan kewajibannya untuk belajar, mengasihi, mencintai, tanpa sekalipun mengharapkan untuk menerima kembali. Pernah suatu saat secara tidak sengaja dia bilang bahwa dia tidak ingin melukai aku, karena dia memang sakit parah dan sudah pasti tidak bisa membahagiakan aku.

Aku menjadi susah tidur selama beberapa hari, lamunanku tidak lain hanyalah Deasy seorang. Fotonya dalam pakaian casual dengan balutan jeans warna abu2 dan t-shirt putih yang begitu cantik sering kupandangi, oh andainya dia benar2 ada dalam kehidupanku. Foto Deasy satu2nya yang kupunya, sebagai tanda perkenalan kira2 setahun yang lalu, yang kudapatkan dari keponakannya yang tinggal sekota denganku. Suaranya yang begitu halus, meyakinkan aku bahwa dia seorang gadis yang lemah lembut, dan cenderung menyendiri. Aku tak tahu mengapa aku harus jatuh cinta dengan hantu, mengapa aku harus mengharapkan orang yang suatu saat pasti mengecewakan aku.

Beberapa hari terlewati sudah, resahku sudah mulai berkurang, mulai sibuk dengan kegiatan kuliah dan kegiatan masjid, bayangan Deasy sudah mulai bisa kulupakan. Tetapi aku tak bisa memungkiri, aku mencintai gadis ini, belum pernah aku menemui wanita selembut dan sehalus dia, maksudku di alam nyata.

Setelah selesai mengerjakan tugas laporan field trip ke objek wisata, mataku sangat lelah setelah hampir semalaman di depan komputer, aku mengambil gitar yang setia menemaniku sejak aku masih di SMA, saksi bisu cinta pertama dan keduaku yang sudah berakhir itu, dan aku mulai menyanyi, sekenanya mulai dari lagunya Norah Jones sampai Didi Kempot, mataku sudah ngantuk sekali, masih kucoba memetik dan menyanyi lagu Diva-nya Gigi, akupun akhirnya terlelap dengan gitar masih di pelukanku...........

sinopsis novel menolak panggilan pulang

Menolak Panggilan Pulang


Diterbitkan oleh CV Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I Juli 2000
(Dapatkan
di toko-toko buku di kota Anda, atau pesan langsung ke penerbit: CV
Media Pressindo, Jalan Godean, Guyangan GP IV No. 288 Yogyakarta 55292
telepon (0274) 546694

Kisah
dramatis kehidupan suku Bukit di pedalaman Kalimantan: tentang kearifan
dan kesetiaan terhadap nilai adat; cinta anak-anak kepala adat yang
berbeda pandang dalam menyikapi kaumnya yang terasing; ambisi pribadi
yang mendorong terjadinya pengkhianatan; konflik kepentingan yang tak
terselesaikan. Dan, "Malapetaka itu akhirnya menghanguskan
segalanya…." Tapi, cinta ingin tetap dipertahankan walau ia terusir
dari tanah terasing.

Sinopsis

Anak penghulu itu
kelak meneruskan tugas dan kewajiban ayahnya jika sang ayah meninggal.
Tetapi, ketika 11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga
mencemaskan seluruh warga Balai Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari
kota membawanya ke Kandangan untuk disekolahkan.

Maka,
ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai yang tentu berbeda
dengan di Bukit, yang modern, yang tidak primitif, dan yang akhirnya
meluruhkan nilai-nilai kesetiaan kepada adat tanah leluhurnya, termasuk
melupaka sumpah bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi
kepada Bidukun. Jika ia melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara
adat. Tetapi cintanya kepada putri Kepala Suku Balai Jalay, Aruni,
tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh batinnya penuh kontradiksi.
Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu–saat itu jalan tembus
sudah dibangun– ia ingin memboyong Aruni ke kota, meninggalkan Malinu
yang tetap terasing. Tetapi sang gadis pujaan tak hendak lepas dari
kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi kepada suku Bukit, untuk
membebaskan dari keterasingan, keterpencilan, kebodohannya, tetapi
tidak meninggalkan nilai-nilai adat suku Bukit.

Dan,
demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan tanaman
industri agar mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam sejuta pohon
sengon. "Tapi kami tak perlu sengon. Kami tak biasa menanam pohon itu,
kami hanya menanam padi. Jangan paksa kami," tolak warga Malinu.

Segalanya
berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay berkeras membela PT
Rimba Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua dilakukan demi ambisi
meski harus mengorbankan sukunya sendiri. Maka, semuanya berakhir pada
api yang berkobar, membakar seisi desa, dan Utay melarikan diri….
Bagaimana dengan Aruni yang ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu
merupakan pelanggaran adat yang paling besar dan mesti menerima kutukan
dewa dan roh leluhur?

Kata Pengantar
Oleh Bakdi Soemanto

Ngarto
Februana lahir tiga puluh dua tahun yang lalu. Ia adalah alumni Jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1995);
sudah barang tentu ia sangat paham dengan sejumlah teori sastra yang
dibawa Prof. A. Teeuw dari Eropa, dan kemudian menjadi salah satu
landasan sangat berpengaruh bagi pemahaman sastra akademik, setelah
dikembangkan oleh tokoh-tokoh ilmu sastra di UGM, misalnya Prof. Dr.
Chamamah Suratno, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Dr. Imran T.
Abdullah, Dr. Faruk H.T., Dra. Sugihastuti, dan lain-lain. Namun
demikian, menulis novel, cerita pendek, lakon, atau puisi, tidak ada
hubungannya dengan teori-teori itu. Menulis karya kreatif erat
kaitannya dengan: (1) kedalaman wawasan penulis kepada kehidupan; (2)
ketelatenannya melatih diri dalam hal mengolah bahasa-kata, yang
merupakan wahana ungkap utama untuk menciptakan sastra; (3) luas
pergaulannya dengan berbagai lekuk-liku kehidupan; dan, (4) bakat
kepengarangannya (authorship). Perkenalan saya dengan dia
memberikan petunjuk bahwa Ngarto Februana adalah penulis yang
memberikan kepada pembacanya suatu janji akan hasil-hasil karyanya yang
kelak akan cukup menggetarkan. Karena itulah, adalah haknya untuk
terus-menerus memperoleh kesempatan karyanya dipublikasikan dan
ditanggapi. Ibarat pemain bulutangkis, suksesnya di arena pertandingan,
antara lain, akan sangat ditentukan oleh frekuensi kesempatannya
mengadu kemampuannya untuk digunakan sebagai bahan refleksi seberapa
tinggi derajat kehebatan yang sudah dicapainya. Berangkat dari alasan
inilah saya memberanikan diri menerima permintaan dari penulis novel
ini untuk menulis kata pengantar ini.

II

Menolak Panggilan Pulang berbicara
tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan
Selatan. Disebut "tanah terasing" karena wilayah itu dapat dikatakan
terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya, seperti dilukiskan dalam
novel ini, penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh. Dikatakan pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga
Balai Bidukun panik. Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan
dari lubang-lubang persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan
bersorak gembira. Berpesta pora minum darah korbannya yang tak berdaya,
menunggu maut menjemput
." Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat penting dan menentukan untuk memahami novel ini. Setting itu,
kemudian, menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak,
berkembang, secara dinamis dalam seluruh novel itu. Bahkan sekaligus
menjadi semacam vision du monde, jika mau meminjam istilah
Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang dibentuk dan kemudian
membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam novel itu.

Bagi
saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa
wilayah ini adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti
diisyaratkan oleh judul novel ini, yakni dalam artian "tanah
pedalaman", semacam the eart land, yang letaknya jauh dari
wilayah pantai. Disebut terasing sebab walaupun ada Sungai Amandit yang
menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1, sebagai sarana
orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa
akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk
dipersoalkan, dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan
antara wilayah maju dan wilayah asli ini terjadi. Dalam novel ini,
Ngarto Februana, tampaknya, tidak sempat mengeksplorasi kontak-kontak
kebudayaan yang terjadi. Memang, dalam novel ini dilukiskan adanya
perubahan, misalnya tanah di perbukitan yang semula lebat dan kemudian,
karena penebangan pohon hutan secara besar-besaran, mengakibatkan
wilayah itu berubah menjadi padang ilalang. Namun demikian, kontak
kebudayaannya itu sendiri, dialog budayanya itu, tidak sempat
terlukiskan. Tentu saja, ini soal pilihan. Karenanya, keterasingan Desa
Malinau, yang menjadi latar tempat utama terasa tampak jelas. Pembaca
bisa membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan itu selembar taplak meja
berwarna hijau atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya yang
basah atau bekas-bekas bagian yang basah itu, dan tampak sangat
mencolok, mungkin bahkan menggetarkan. Karenanya, sebagai suatu construct pikiran,
jika dipandang secara struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri
mendukung situasi keterasingan Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat seluruh novel ini tampak utuh.

Novel
ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang
diderita oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi
awal dari seluruh kisah, hingga novel ini berakhir.

Awal
novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay,
terkena penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu,
menjadi perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang
berkerumun sempat sangat cemas dengan penyakit yang diderita si bocah,
sebab, "Ia tidak boleh mati. Dialah pengganti ayahnya kelak"
(hal. 4). Dilihat dari teori penyutradaraan, sejak awal Utay sudah
disiapkan menjadi fokus. Dan, tatkala akhirnya Utay sembuh, semua orang
bergembira dan mensyukuri karenanya, toh penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal.
9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk
desa itu, bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat
penting diperhatikan. Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca,
dipaksa untuk terus menikmati novel ini sambil bercemas-cemas apa yang
akan terjadi di desa itu. Ketiga, walaupun penduduk setempat masih
memegang teguh adat-istiadat setempat, namun cukup merasa bangga kalau
ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling sedikit, sekolah
dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah satu-satunya
anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar." Wajah
penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun,
tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay
bisa melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu.
Mula-mula dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan
bahwa, "Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau ke kota."
(hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa diatur, Pak
Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih lanjut. Keempat, melalui
narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira
dua puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang
tenang dan damai terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk,
membabat pohon-pohon besar. Perbukitan yang dilapisi dengan hutan
belantara berubah jadi padang ilalang. Binatang hutan seperti hirangan
(kera besar berbulu hitam dan berekor panjang), babi hutan, pelanduk,
dan beruang menyingkir, mencari tempat yang masih aman buat
kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka
menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh
penghulu, "Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).

Apa
yang menarik? Barangkali karena Ngarto Februana banyak berkesempatan
bergaul dengan teori-teori sastra, setidaknya, secara teknis, ia
berhasil menyusun bagian awal dari novel ini sebagai exposition yang
lengkap. Ini artinya, saya didorong berspekulasi, betapapun konon, kata
para ahli, kreativitas sastra tidak ada hubungannya dengan teori-teori
bersastra, namun, dalam hal teknis, ternyata, teori sastra mampu pula
memberikan sumbangannya yang nyata. Contoh lain, bisalah pembaca
mengenang tatkala pembaca menikmati sebuah novel karya Albert Camus
(1964) yang berjudul L’estrager alias "Orang Asing" itu.
Pembaca yang pernah menikmati, saya pikir akan sependapat dengan saya,
bahwa novel itu "terlalu" sempurna, dalam arti teknis. Dan itu terjadi,
mungkin, karena Camus memang suka menggeluti teori-teori sastra tatkala
masih mahasiswa di fakultas filsafat. Saya tidak mengatakan novel
Ngarto Februana sangat sempurna, tetapi kalau nanti pembaca menikmati
sendiri, akan melihat dan kemudian merasakan bahwa apa yang diungkap di
depan, merupakan semacam rumusan masalah yang akan dibahas dalam corpus novel ini. Jelasnya, eksposisi, atau yang oleh dosen-dosen IKIP sering disebut dengan istilah pemaparan, memberikan kunci seluruh persoalan yang menjadi jiwa novel ini.

Utay, anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun, "Aruni dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar laporan itu, Kepala Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan Utay dan Aruni, yang sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan diperjodohkan, dianggap sebagai pamali, yakni terlarang atau tabu. Pelanggaran ini akan
kena murka roh leluhur dan para Dewa. Bagaimana pula dengan kata orang
nanti, jika kejadian ini sampai menyebar: Putri Penghulu Jalay
berciuman dengan putra Penghulu Bidukun
! (hal. 111). Pada
titik ini, kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun, berbeda dari
perhatian pada awal kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama
diperhatikan itu bersifat simpati kepada si sakit, yang kedua,
perhatian bersifat kekecewaan, bahkan dianggap sebagai destruktif.

Akan
tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu
terjadi di sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni,
tampak bahwa Utay, sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda.
Utay ingin bekerja di PT Rimba Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan
menolak permintaan gurunya, Pak Husein, untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat,"
tukas Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia
kelak harus menggantikan ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin orang lain" (hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran sangat demokratis. "Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang akan dipilih jadi penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih" (hal. 94). Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi,
kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku
nanti ditempatkan di Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku
ditempatkan di sana. Kamu pasti senang tinggal di kota. Ramai dan
banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak seperti di Bukit. Primitif!
"
(hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat "pengaruh orang kota! Pengaruh
sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan Aruni tentu saja sangat benar.
Sekolah adalah agent of change. Jika demikian, yang
dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang benar. Mungkin, alasan ia tidak
menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan
bolak-balik Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang
lebih dalam lagi yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya
seluruh jagad Malinau, karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di
Malinau akan gonjang-ganjing, langit akan kelap-kelap katon lir gincanging aris, Sungai Amandit akan kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan manggut-manggut, dan sabarang dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa itu adalah zaman edan, sementara
bagi mereka yang paham akan apa yang disebut masyarakat akan melihatnya
sebagai perubahan sosial. Dan perubahan masyarakat itu, seperti sudah
dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat kontak-kontak dengan
kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.

Dalam sebuah bukunya yang sangat penting sekaligus sangat indah, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985),
Prof. Dr. H. Umar Kayam telah menyaksikan dan sekaligus meramalkan
berbagai perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh
wilayah Nusantara. Adapun perubahan sosial dimaksud adalah mencairnya
kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih
heterogen; dan yang lebih penting lagi, penerus-penerus nilai-nilai
budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan adanya kerena orang-orang
muda pergi meninggalkan tempat asalnya untuk memburu ilmu, seperti yang
terjadi di Mahadumuk, di perbatasan Kalimantan dan Brunei Darussalam,
di sebelah utara jauh dari Desa Malinau yang dilukiskan Ngarto Februana.

Karena
itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan
penebangan membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian
dari gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan
fisik; sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran
wawasan. Novel ini terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam
itu justru dipelopori oleh Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri.
Karena itu, sebagai pembaca, saya merasakan betapa getirnya yang
dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan cemas tatkala Utay sakit,
seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah menjadi kejengkelan
luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa anak itu
tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka" bagi desa
adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan,
tatkala pulang ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo, sayangku!"

Sangat
jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di
Kandangan. Di kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang
menarik, mungkin cara Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan
yang sedikit over acting, sehingga menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali berkenalan dengan kebudayaan baru.

Pada titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru bersikap over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras dengan cultural resistance-nya.
Bayangkan saja, jika ia kemudian datang lagi ke desanya dengan jeep
Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat mencolok, Jeep itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah mengherankan jika Anak-anak berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka mengagumi kendaraan modern itu. (hal. 124).

Walaupun cara Ngarto Februana bercerita sangat sederhana, using plain and simple language, kalau menurut istilah Dr. Djuhertati Imam Muhni, M.A., namun, bahasa biasa-biasa itu, dalam pengalaman pembacaan, sangat engaging, memikat,
setidaknya bagi saya. Sebab, apa yang dikemukakan Ngarto Februana,
menurut istilah Edmund Sihui-Maho, seorang kritikus sastra asal Hong
Kong, hal seperti itu, hingga kini masih terjadi. Di pabrik-pabrik
gula, orang masih menyelenggarakan upacara yang disebut dengan istilah cembengan,
pada saat mengawali giling. Upacara itu, walaupun banyak ragamnya,
intinya memuliakan mesin-mesin giling itu, agar pada saat giling nanti
tidak macet. Orang-orang masih berpendapat bahwa mesin-mesin itu dijaga
oleh roh-roh, yang apabila roh-roh itu marah, mesin bisa mendadak tidak
mau bekerja. Para mekanik mengatakan mesin itu rusak. Tapi bagi para
pekerja dan mungkin juga pimpinan pabrik, mesin itu terkena gangguan.
Untuk menghindarinya, diperlukan sesaji. Pengalaman saya melakukan
penelitian petani tebu di wilayah Jepara dan Jawa Timur menunjukkan
kenyataan itu. Ini memberikan isyarat bahwa dalam menghadapi teknologi
maju, terkadang, dalam banyak hal, kita masih sangat gamang. Salah satu
sumber sebabnya, kita tidak dipersiapkan untuk banyak bertanya dan
mempertanyakan fenomena yang ada, tetapi dididik menerima begitu saja
tanpa mempersoalkannya. Karena itu, betapapun dahsyatnya teknologi maju
itu, kehadirannya sering tidak membawa perubahan wawasan; kita tak
menjadi lebih kritis, tetapi sebaliknya justru memasukkan jagad
teknologi itu ke dalam wilayah alam pikir kita yang mistis. Maka,
teknologi itu ditangkapnya sebagai wonders of the world, sesuatu
yang mengagumkan, dan diterima sebagai bagian dari keajaiban magis,
tetapi bukan sebagai prestasi yang dicapai manusia lewat peradaban.
Tidaklah mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak dewa. Gagah dan tampan (hal. 124).

Dalam
pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara
ayah dan anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan
itu bukan sekadar masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat
dari wawasan yang berbeda. Utay dan tiga orang temannya ingin menanam
sengon, akasia, sungkai; sementara Penghulu menghendaki agar tanah
ditanami padi dan cabai. Persoalannya bagi Utay bahwa sengon, secara
ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi, Bah, ini menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi Utay sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.

Bagi
Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan secukupnya yang
berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay,
Penghulu marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal. 127). Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan "kefilsafatan" yang menjadi roh di belakangnya.

Apa
yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay
pada sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti
dilukiskan oleh Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern,
teknologi maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia
dari kungkungan legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan,
pendidikan membebaskan manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang
perlu dipersoalkan, aspek manakah dari teknologi maju yang mampu
membebaskan manusia dari padangan takhayul itu? Teknologinya sendiri
yang berarti kemampuan skill, keterampilan, atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?

Hal
yang menarik pula dalam novel ini, sebenarnya pergulatan antara adat
pada satu pihak dan dorongan alamiah manusia pada pihak lain. Tatkala
Utay mulai berkenalan dengan kehidupan kota, sebenarnya, umurnya sudah
cukup dewasa. Ia mulai diganggu oleh dorongan-dorongan dari dalam,
berdekapan, berciuman, meremas-remas buah dada, dan tindakan-tindakan
lanjutan, yang intinya bersumber pada kebutuhan untuk menyatakan diri
sebagai makhluk laki-laki di ambang dewasa. Tetapi, apabila dorongan
itu dilaksanakan yang terjadi adalah pamali , yakni perbuatan
tabu. Pandangan tentang yang tabu dan tidak ini mulai luntur pula pada
Utay, sebelum ia pergi ke Kandangan untuk bekerja di PT Rimba Nusantara.

"Jangan! Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh nenek moyang!"

Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal 96).

Kutipan
ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan
dengan kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu.
Namun, sebenarnya, masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan
pertimbangan akan hukum adat, naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini
artinya, hukum adat berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya naluri
manusia. Kedua, Aruni yang semula menangis, setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal
96). Tampaknya, pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan
dorongan alamiah manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra
Inggris, orang bisa membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967)
yang berjudul Lady Chaterley’s Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna Karenina. Novel-novel
kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan adat plus
larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah
manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang
itu, dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi
moral-religius dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan
alasan bahwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam
novel-novel dimaksud adalah melanggar moral agama, sebenarnya, tersirat
juga nuansa mempertahankan kemurnian kelas sosial, agar tetap
terpandang sebagai kelompok masyarakat terhormat. Nuansa demikian juga
tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan berciuman di sungai (hal
96) dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok yang dikenakan Aruni. Gadis itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay menindihnya (hal. 131)
adalah tindakan terkutuk oleh adat, yang akan dapat menimbulkan amarah
para Dewa, dan sekaligus akan meruntuhkan kedudukan derajat dan
kehormatan orang tua mereka sebagai penghulu.

Ini
artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis
didorong dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi
dan wawasan ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran
alamiah manusiawi.

III

Bagi
saya, novel ini menarik sekali. Pertama, novel sangat sarat dengan
warna lokal, yang mirip satu laporan penelitian antropologis, dengan
alamat pengamatan etnografi. Dengan membaca novel ini, kita banyak
belajar tentang suatu suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal.
Mungkin, jika situasi di desa itu ditulis oleh seorang peneliti,
hasilnya tidak menarik bagi orang awam seperti saya. Tetapi dengan
ditulis dan disajikan dalam bentuk novel, yang dijalin dengan kisah
percintaan adat dalam suatu perspektif perubahan sosial, pelukisan
antropologis dalam novel ini lebih mudah dicerna. Kedua, novel ini
ditulis dengan teknik bercerita yang cermat; ada kesadaran menyusun
suatu construct yang utuh, sehingga yang terlukis di awal novel
ini merupakan pemaparan masalah pokok yang berkembang pada penceritaan
berikutnya. Ketiga, melalui novel ini, seperti halnya novel berjudul Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (1993) maupun sebuah novel berjudul The Last of the Mohican
karya James Flenimore Cooper (1947) menampakkan bahwa datangnya
teknologi maju di satu wilayah "tertutup" tanpa persiapan mental dan
intelektual penduduk setempat akan membawa kehancuran desa itu.
Keempat, dalam novel ini, untuk kesekian kalinya, seperti telah
dilukiskan oleh banyak karya sastra, senantiasa pergulatan antara
dorongan alamiah manusiawi dengan hukum adat dan moral religius terus
terulang sepanjang sejarah manusia, di mana pun dan kapan pun. Kelima,
menurut pengakuan Ngarto Februana sendiri, novel ini ditulis atas dasar
pengamatannya langsung pada wilayah ini, tatkala ia mendapat kesempatan
tinggal di desa ini selama beberapa bulan dalam rangka KKN, Kuliah
Kerja Nyata, pada tahun 1993. Dengan Kuliah Kerja Nyata yang singkat
itu, tampaknya, Ngarto Februana memanfaatkan kesempatan itu dengan
masuk dan berkuliah di universitas kehidupan. Ia, tidak seperti
mahasiswa-mahasiswi lain, yang biasanya dalam KKN memberi pelajaran,
kursus, atau melatih keterampilan penduduk setempat, Ngarto Februana
justru belajar. Dia, saya bayangkan, di Desa Malinau, mendengarkan para
"mahaguru" memberi kuliah kepadanya tentang arti pergulatan dalam
hidup. Para mahaguru itu mungkin justru orang-orang di desa setempat
yang pendidikannya paling tinggi sekolah dasar, bahkan mereka yang
belum sempat belajar membaca. Ia juga berkuliah dengan mendengarkan
kebijakan-kebijakan hidup yang diberikan lewat suara angin yang
menggoyangkan daun-daun; aum binatang-binatang buas, dan gunung-gunung.
Ngarto Februana mencatatnya pada kertas jiwanya, dengan pena yang
digerakkan oleh "tangan-roh"nya, setelah ditangkap dengan mata dan
telinga-hatinya. Karena itu, walaupun di sana-sini novel ini masih
menampakkan kelemahan, karya ini merupakan teladan bagi
mahasiswa-mahasiswi yang akan berangkat KKN, dari jurusan atau fakultas
apa pun dia.

Lalu, bagaimana
akhir cerita novel ini? Kiranya kurang etis jika saya sajikan di sini.
Terus terang, tugas saya hanya memancing keinginan pembaca untuk
berkonfrontasi sendiri dengan novel ini, di suatu malam panjang, dalam
kamar, sambil merenung-renung.

सिटी Nurbaya

Sinopsis NoveL Siti Nurbaya

Posted on 3 December 2008 by cys77.
Categories: BI.

siti nurbaya
Dengan maksud yang licik Datuk Maringgih meminjamkan uangnya pada Baginda Sulaiman. Berkat pinjangan uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat kemajuan dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yanglainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dan toko Bagindapun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jauh bangrut dan sekligus dengan hutang yang menunpuk pada Datuk Maringgih.

Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya. Jlas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya. Hal ini memang sengaja oelh datuk Maringgih, sebab dia sudah tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menadi istri Datuk Maringgih.

Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang menuntut ilmu di Jakarta. Namun begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya diperistri oleh orang lain. Hal tersebut dia ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yangmenimpa keluarganya.

Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yangmenimpanya begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung pada waktu liburan karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga sekaligus hendak mengunjungi Siti Nurbaya yang sangat dia rindukan.

Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia berusaha bangun, namun karena dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.

Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh ke laut.

Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya sberikutnye menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya.

Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili Siti Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih. Namun usahanya sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena tidak terbukti Siti Nurbaya bersalah akhirnya dia bebas.

Beberapa waktu kemudian. Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim oleh pemerintah ke Padang untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah padang. Para pengacau itu rupanya salah satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah pertempuran sengit antara orang-orang Letnan Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-orang Datuk Maringgih. Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dihujani peluru oleh Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat melukai lentan Mas dengan pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga, sedangkan letan mas dirawat di rumah sakit.

Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.

Dengan maksud yang licik Datuk Maringgih meminjamkan uangnya pada Baginda Sulaiman. Berkat pinjangan uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat kemajuan dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yanglainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dan toko Bagindapun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jauh bangrut dan sekligus dengan hutang yang menunpuk pada Datuk Maringgih.

Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya. Jlas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya. Hal ini memang sengaja oelh datuk Maringgih, sebab dia sudah tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu membayarnya. Dengan alasan hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih. Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menadi istri Datuk Maringgih.

Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang menuntut ilmu di Jakarta. Namun begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya diperistri oleh orang lain. Hal tersebut dia ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yangmenimpa keluarganya.

Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yangmenimpanya begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung pada waktu liburan karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga sekaligus hendak mengunjungi Siti Nurbaya yang sangat dia rindukan.

Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar oleh ayahnya di rumah yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia berusaha bangun, namun karena dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.

Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh ke laut.

Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya sberikutnye menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya.

Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili Siti Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih. Namun usahanya sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena tidak terbukti Siti Nurbaya bersalah akhirnya dia bebas.

Beberapa waktu kemudian. Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim oleh pemerintah ke Padang untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah padang. Para pengacau itu rupanya salah satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah pertempuran sengit antara orang-orang Letnan Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-orang Datuk Maringgih. Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dihujani peluru oleh Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat melukai lentan Mas dengan pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga, sedangkan letan mas dirawat di rumah sakit.

Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.

BULAN JINGGA DALAM KEPALA

Sinopsis Novel Bulan Jingga dalam Kepala (Fadjroel Rachman)

mfadjroel rachman
Fri, 05 Oct 2007 06:26:35 -0700

Inilah Sinopsis Novel BULAN JINGGA DALAM KEPALA, Selamat Membaca dan
beri komentar. tx

Istana Merdeka diduduki seratusan ribu mahasiswa untuk menangkap
seorang diktator, Presiden Jenderal Suprawiro. Sang presiden tertembak
mati dan digantung terbalik seperti pemimpin fasis Italia, Benito
Mussolini. Puteri bungsu presiden, Bulan Pratiwi (5 tahun) tertembak
juga secara tidak sengaja oleh sang tokoh mahasiswa, Surianata, ketika
melindungi kekasihnya, Bunga Langit. Kematian Bulan Pratiwi inilah
pemicu "pertempuran dunia batin" Surianata hingga detik terakhirnya.
Fiksi sejarah politik Indonesia dan dunia kontemporer, melukiskan
hiruk-pikuk gerakan mahasiswa Indonesia di abad XX. Anak-anak muda
'idealis dan pemarah' dengan pergulatan batin sebagai manusia kongkret
ketika kekerasan silih berganti di tengah pertarungan kekuasaan dan
kebebasan. Berlatar istana hingga sel penuh kekerasan di Penjara Pulau
Nusakambangan, Penjara Sukamiskin, Penjara Militer Bakorstanasda,
Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Kuil
Yasukuni Tokyo, horor Hiroshima, Kamp Konsentrasi Nazi Sachsenhausen
dan Holocaust Memorial Berlin.
Bulan Jingga dalam Kepala mengajak Anda bertamasya jiwa ke dunia
realis dan surealis tentang tragedi, kerapuhan hidup, serta
keserbamungkinan pilihan manusia.


Alunan kata-kata yang mengalir deras, menyentak, menggeliat, memukul
rasa. Fadjroel menantang kita untuk tenggelam dalam keindahan sureal
yang menyakitkan. Perjalanan bersama novel ini akan menjadi perjalanan
penuh makna. Fasten your seat belt and enjoy the ride!
Olga Lydia, foto model, aktris, dan presenter NewsdotCcom (Republik Mimpi)


Penuh liku, padat, penulis memberi ruang yang dahsyat di mana kita
bisa merasakan kekayaan batinnya yang bergejolak seolah tak pernah
berhenti berpikir. Novel menarik untuk yang ingin mengisi batin dan
kesadaran.
Happy Salma, aktris, presenter, penulis antologi cerpen Pulang,
pemeran utama drama Nyai Ontosoroh.


Novel yang melarikan akal dari kejaran dogma dan meloloskan hidup dari
kepungan ritus.
Rocky Gerung, esais, dosen filsafat UI

Ayat-Ayat Cinta

Sinopsis Novel Ayat-ayat Cinta + Download Novel


Ayat-ayat cinta adalah sebuah novel 411 halaman yang ditulis oleh seorang novelis muda Indonesia kelahiran 30 September 1976 yang bernama Habiburrahman El-Shirazy. Ia adalah seorang sarjana lulusan Mesir dan sekarang sudah kembali ke tanah air. Sepintas lalu, novel ini seperti novel-novel Islami kebanyakan yang mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel Islami, budaya dan juga novel cinta yang banyak disukai anak muda.
Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media penyaluran dakwah kepada siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam, khususnya buat para kawula muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa.Novel ini bercerita tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang berbeda latar belakang dan budaya; yang satu adalah mahasiswa Indonesia yang sedang studi Universitas Al-Azhar Mesir, dan yang satunya lagi adalah mahasiswi asal Jerman yang kebetulan juga sedang studi di Mesir. Kisah percintaan ini berawal ketika mereka secara tak sengaja bertemu dalam sebuah perdebatan sengit dalam sebuah metro (sejenis trem).
Mein Neim Ist Aisha
Pada waktu itu, si pemuda yang bernama lengkap Fahri bin Abdullah Shiddiq, sedang dalam perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang Syaikh yang cukup tersohor di seantero Mesir. kepadanya Fahri belajar tentang qiraah Sab'ah (membaca Al-Qur'an dengan riwayat tujuh imam) dan ushul tafsir (ilmu tafsir paling pokok). Hal ini sudah biasa dilakukannya setiap dua kali seminggu, setiap hari Ahad/Minggu dan Rabu. Dia sama sekali tidak pernah melewatkannya walau suhu udara panas menyengat dan badai debu sekalipun. Karena baginya itu merupakan suatu kewajiban karena tidak semua orang bisa belajar pada Syaikh Utsman yang sangat selektif dalam memilih murid dan dia termasuk salah seorang yang beruntung.
Di dalam metro, Fahri tidak mendapatkan tempat untuk duduk, mau tidak mau dia harus berdiri sambil menunggu ada kursi yang kosong. Kemudian ia berkenalan dengan seorang pemuda mesir bernama Ashraf yang juga seorang Muslim. Merteka bewrcerita tentang banyak hal, termasuk tentang kebencian Ashraf kepada Amerika. Tak berapa lama kemudian, ada tiga orang bule yang berkewarganegaraan Amerika (dua perempuan dan satu laki-laki) naik ke dalam metro. Satu diantara dua perempuan itu adalah seorang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah. Biasanya orang Mesir akan memberikan tempat duduknya apabila ada wanita yang tidak mendapatkan tempat duduk, namun kali ini tidak. Mungkin karena kebencian mereka yang teramat sangat kepada Amerika. Sampai pada suatu saat, ketika si nenek hendak duduk menggelosor di lantai, ada seorang perempuan bercadar putih bersih yang sebelumnya dipersilahkan Fahri untuk duduk di bangku kosong yang sebenarnya bisa didudukinya, memberikan kursinya untuk nenek tersebut dan meminta maaf atas pwerlakuan orang-orang Mesir lainnya. Disinilah awal perdebatan itu terjadi.
Orang-orang Mesir yang kebetulan mengerti bahasa Inggris merasa tersinggung dengan ucapan si gadis bercadar. Mereka mengeluarkan berbagai umpatan dan makian kepada sang gadis, dan ia pun hanya bisa menangis. Kemudian Fahri berusaha untuk meredakn perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya dan ternyata berhasil. Lalu ia mencoba menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan bercadar itu benar, dan umpatan-umpatan itu tidak layak untuk dilontarkan. Namun apa yang terjadi, orang-orang Mesir itu kembali mrah dan meminta Fahri untuk tidak ikut campur dan jangan sok alim karena juz Amma saja belumtentu ia hafal. Kemudian emosi mereka mereda ketika Ashraf yang juga ikut memaki perempuan bercadar itu, mengatakan bahwa Fahri adalah mahasiswa Al-Azhar dan hafal Al-Qur'an dan juga murid dari Syaikh Utsman yang terkenal itu. Lantas orang-orang Mesir itu meminta maaf pada fahri. Fahri kemudian menjelaskan bahwasanya mereka tidak seharusnya bertindak seperti itu karena ajaran Baginda Nabi tidak seperti itu. Lalu ia pun menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap kepada tamu apalagi orang asing sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Mereka pun mengucapkan terima kasih pada fahri karena sudah megingatkan mereka. Sementara itu, si bule perempuan muda, Alicia, sedang mendengarkan penjelasan tentang apa yang terjadi dari si perempuan bercadar dengan bahasa Inggris yang fasih.Kemudian Alicia berterima kasih dan menyerahkan kartu namanya pada Fahri. Tak berapa lama kemudian metro berhenti dan perempuan bercadar itupun bersiap untuk turun. Sebelum turun ia mengucapkan terima kasih pada Fahri karena sudah menolongnya tadi. Akhirnya mereka pun berkenalan. Dan ternyata si gadis itu bukanlah orang Mesir melainkan gadis asal Jerman yang sedang studi di Mesir. Ia bernama Aisha.
Maria, Gadis Koptik yang Aneh
Di Mesir, Fahri tinggal bersama dengan keempat orang temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi dan Misbah. Fahri sudah tujuh tahun hidup di Mesir. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua lantai, dimana lantai dasar menjadi tempat tinggal Fahri dan empat temannya, sedangkan yang lantai atas ditempati oleh sebuah keluarga Kristen Koptik yang sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros, Madame Nahed, dan dua orang anak mereka - Maria dan Yousef. Walau keyakinan dan aqidah mereka berbeda, namun antara keluarga Fahri (Fahri dkk) dan keluarga Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Di Mesir, bukanlah suatu keanehan apabila keluarga Kristen koptik dan keluarga Muslim dapat hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat. Keluarga ini sangat akrab dengan Fahri terutama Maria. Maria adalah seorang gadis Mesir yang manis dan baik budi pekertinya. Kendati demikian, Fahri menyebutnya sebagai gadis koptik yang aneh, karena walaupun Maria itu seorang non-muslim ia mampu menghafal dua surah yang ada dalam Al-Quran dengan baik yang belum tentu seorang Muslim mampu melakukannya. Ia hafal surat Al-Maidah dan surah Maryam. Fahri juga baru mengetahuinya ketika mereka secara tak sengaja bertemu di metro. Seluruh anggota keluarga Boutros sangat baik kepada Fahri dkk. Bahkan ketika Fahri jatuh sakit pun keluarga ini jugalah yang membantu membawa ke rumah sakit dan merawatnya selain keempat orang teman Fahri. Apalagi Maria, dia sangat memperhatikan kesehatan Fahri.
Keluarga ini juga tidak segan-segan mengajak Fahri dkk untuk makan di restoran berbintang di tepi sungai Nil,kebanggaan kota Mesir, sebagai balasan atas kado yang mereka berikan. Pada waktu itu Madame Nahed berulang-tahun dan malam sebelumnya Fahri dkk memberikan kado untuknya hanya karena ingin menyenangkan hati beliau karena bagi Fahri menyenangkan hati orang lain adalah wajib hukumnya. Setelah makan malam, tuan dan nyonya Boutros ingin berdansa sejenak. Madame Nahed meminta Fahri untuk mengajak Maria berdansa karena Maria tidak pernah mau di ajak berdansa. Setelah tuan dan nyonya Boutros melangkah ke lantai dansa dan terhanyut dengan alunan musik yang syahdu, Maria pun memberanikan diri mengajak Fahri untuk berdansa, namun Fahri menolaknya dengan alasan Maria bukan mahramnya kemudian menjelaskannya dengan lebih detail. Begitulah Fahri, ia selalu berusaha untuk menjunjung tinggi ajaran agama yang dianutnya dan selalu menerapkannya dalm kehidupan sehari-hari.
Si Muka Dingin Bahadur dan Noura yang Malang
Selain bertetangga dengan keluarga Boutros, Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang perangainya berbanding 180 derajat dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur yang terkenal dengan julukan si Muka Dingin karena ia selalu berperangai kasar kepada siapa saja bahkan dengan istrinya madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan istrinya mempunyai tiga orang putri, Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam namun tidak halnya dengan Noura, dia berkulit putih dan berambut pirang. Hali inilah ang membuat Noura dimusuhi keluarganya yang pada akhirnya membuat dirinya tercebur kedalam penderitaan yang amat sangat. Bahadur mempunyai watak yang keras dan bicaranya sangat kasar, Nouralah yang selalu menjadi sasaran kemarahannya. Dan kedua orang saudaranya yang juga tidak menyukai Noura mengambil kesempatan ini untuk ikut-ikutan memaki dirinya. Sampai tibalah pada suatu malam yang tragis dimana Bahadur menyeret Noura ke jalanan dan punggungnya penuh dengan luka cambukan.
Hal ini sudah sering terjadi, namun malam itu yang terparah. Tak ada satu orang pun yang berani menolong. Selain hari sudah larut, Bahadur juga dikenal amat kejam. Akhirnya, karena sudah tak tahan lagi melihat penderitaan Noura, Fahri pun meminta bantuan Maria melaui sms untuk menolong Noura. Awalnya Maria menolak karena tidak mau keluarganya terlibat dengan keluarga Bahadur. Namun setelah Fahri memohon agar Maria mau menolongnya demi kecintaan Maria terhadap Al-Masih, Maria akhirnya luluh juga. Jadilah malam itu Noura menginap di rumah keluarga Boutros. Malam ini jualah yang akhirnya menghantarkan Fahri ke dalam penderitaan yang amat sangat dan juga membuatnya hampir kehilangan kesempatan untuk hidup di dunia fana ini.